Ambisi Swasembada Biodiesel Indonesia: 

Untung Atau Buntung?

Written by Alfian Banjaransari
First published on Indonesia Watch.id, 28 August 2024

Masyarakat Indonesia seyogyanya mendukung visi kemandirian yang diusung Prabowo Subianto. Namun, kita juga perlu berhitung matang. Kita tak bisa hanya mengandalkan nasionalisme semata; perlu kebijakan yang bijak dan realistis.

Dalam pertemuannya dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron, presiden terpilih Prabowo Subianto berbicara mengenai pembatasan kelapa sawit oleh Uni Eropa. “Kalau Eropa tidak mau beli sawit kita, saya bilang terima kasih! Kita akan pakai untuk kepentingan rakyat, untuk swasembada energi,” katanya. Pernyataan ini muncul di tengah ketegangan akibat kebijakan Uni Eropa yang memperketat impor minyak kelapa sawit dari Indonesia dan Malaysia karena isu deforestasi dan dampak lingkungan lainnya.

Namun, ambisi untuk mencapai swasembada energi melalui biodiesel bukan suatu hal yang mudah, jika tak mau dibilang mustahil. Memang, penghematan hingga US$20 miliar atau Rp300 triliun per tahun tampak menggiurkan, namun justru di sinilah letak masalahnya. Betapa tidak, untuk mencapai target B50 —yakni mencampur 50% biodiesel dalam bahan bakar diesel—Indonesia perlu memperluas lahan sawit hingga 3-4 juta hektar, atau setara dengan luas pulau Bali! Ini berarti risiko lingkungan yang dahsyat, termasuk deforestasi besar-besaran dan hilangnya keanekaragaman hayati. Risiko lingkungan ini bukan hanya masalah domestik; dampaknya sangat mungkin akan merusak reputasi Indonesia di mata dunia luar, mengingat minyak kelapa sawit sering dianggap sebagai penyebab utama deforestasi global (diperkirakan Indonesia kehilangan sekitar 500.000 hektar hutan setiap tahunnya). Dampaknya akan jauh dari sekadar soal ekonomi.

Bukan hanya itu, tentu kita masih ingat bagaimana krisis minyak goreng tahun 2022 silam menggegerkan masyarakat. Ketika produksi minyak kelapa sawit dialihkan untuk biodiesel, pasokan minyak goreng dalam negeri akan menyusut, sehingga harga melonjak tajam. “Jika kita aman pangan, aman energi, kita tidak perlu takut siapapun di dunia ini,” ujar Prabowo. Namun, tentu kita bertanya, apa gunanya swasembada energi jika rakyat kesulitan mendapat minyak goreng? Atau mungkin ada rencana mitigasi yang sudah dipikirkan masak-masak?

Memang, ekspor minyak kelapa sawit, yang menghasilkan pemasukan lebih dari US$23 miliar pada 2022, berperan besar dalam perekonomian Indonesia. Minyak kelapa sawit adalah komoditas pertanian nomor satu Indonesia. Sebagai jawara komoditas ekspor—India dan Tiongkok sebagai pasar utama—tentu ini kepentingan strategis yang tidak bisa dengan serta merta diubah. Belum lagi, biodiesel sendiri memiliki efisiensi energi yang lebih rendah dibandingkan bahan bakar fosil. Menghemat Rp300 triliun mungkin terdengar hebat, tapi apakah masyarakat siap dengan dampak dari kebijakan ini? Lagipula, hal ini tak mengubah kenyataan bahwa Indonesia tetap saja harus mengimpor bahan bakar fosil untuk  memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri.

Masyarakat Indonesia seyogyanya mendukung visi kemandirian yang diusung Prabowo Subianto. Namun, kita juga perlu berhitung matang. Kita tak bisa hanya mengandalkan nasionalisme semata; perlu kebijakan yang bijak dan realistis, yang bisa memastikan pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan lingkungan atau rakyat.