Perkuat Ekspor Manufaktur, Indonesia Perlu Teladani Vietnam
Written by Alfian Banjaransari
First published on Indonesia Watch.id, 19 September 2024
Proteksionisme juga menghambat daya saing jangka panjang. Industri dalam negeri cenderung bermain aman dan kurang terdorong untuk berinovasi atau meningkatkan produktivitas.
Kinerja manufaktur Indonesia tengah disorot. Berita penutupan pabrik dan PHK karyawan terus mewarnai keseharian kita, seolah meniscayakan senjakala manufaktur Indonesia. Agaknya, sudah waktunya kita bercermin dan berbenah. Dalam kondisi seperti ini, ada baiknya kita menoleh ke negara tetangga sembari mengambil peajaran.
Tengoklah Vietnam, yang dalam dasawarsa terakhir berhasil memanfaatkan peluang perdagangan global dengan bergabung ke dalam sejumlah perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement atau FTA). Sementara itu, Indonesia terhitung lambat mengadopsi perjanjian-perjanjian tersebut sehingga menghambat daya saing, terutama di sektor manufaktur.
Keikutsertaan Vietnam dalam Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership atau CPTPP misalnya, membuka akses ke pasar seperti Jepang, Kanada, dan Australia. Akibatnya, sektor tekstil dan alas kaki yang menjadi andalan Vietnam (sekaligus saingan berat Indonesia) dapat berkembang pesat.
Selain itu, keanggotaan Vietnam dalam Regional Comprehensive Economic Partnership atau RCEP, blok perdagangan terbesar di dunia, semakin mengintegrasikan ekonominya dalam rantai pasok global. Indonesia sendiri, meski telah tergabung dalam RCEP, belum memanfaatkan keanggotannya secara optimal. Apa pasal?
Kebijakan proteksionis menjadi alasan lambatnya Indonesia dalam meratifikasi berbagai perjanjian perdagangan bebas. Betapa tidak, kebijakan proteksionis sendiri terwujud dalam kebijakan tarif tinggi, persyaratan kandungan lokal, dan pembatasan impor untuk melindungi industri dalam negeri dari kompetisi. Namun, strategi ini justru malah menjadi bumerang jika tujuan kita meningkatkan ekspor.
Mengapa demikian? Dalam perdagangan global yang diatur oleh prinsip Most Favored Nation (MFN) di bawah WTO, Indonesia harus memberikan perlakuan yang sama kepada semua anggota. Ini menghalangi Indonesia menawarkan keuntungan khusus dalam perjanjian perdagangan bilateral dan regional.
Dengan tetap mempertahankan tarif impor tinggi, Indonesia malah meningkatkan biaya bagi eksportir tanah air, terutama mereka yang bergantung pada bahan baku impor, sehingga produk Indonesia menjadi lebih mahal dan kurang kompetitif di pasar internasional.
Proteksionisme juga menghambat daya saing jangka panjang. Industri dalam negeri cenderung bermain aman dan kurang terdorong untuk berinovasi atau meningkatkan produktivitas. Sementara itu, negara seperti Vietnam, yang lebih terbuka pada perdagangan, berhasil mengakses pasar lebih besar dan meningkatkan investasi asing.
Jangan Sampai Lolos
Lambatnya Indonesia dalam meratifikasi perjanjian perdagangan bebas, seperti Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA), menghambat daya saing industri nasional. Vietnam, yang sudah menikmati akses bebas tarif ke Uni Eropa melalui EVFTA, unggul dalam pasar tekstil dan alas kaki, sementara eksportir Indonesia masih harus menghadapi tarif tinggi.
Selain itu, birokrasi yang lambat dan hambatan regulasi memperlambat negosiasi perjanjian dagang. IEU-CEPA, yang telah mandek selama delapan tahun (!), terhambat oleh isu akses pasar dan standar lingkungan yang tak kunjung terselesaikan
Untuk meningkatkan daya saing, Indonesia perlu mempercepat negosiasi perdagangan bebas, terutama IEU-CEPA untuk membuka akses bebas tarif ke pasar utama dunia. Pada saat yang sama, pemerintah harus mengatasi masalah produktivitas rendah dan regulasi yang menghambat potensi industri domestik.
Dengan membuka diri untuk perdagangan bebas, Indonesia akan lebih terintegrasi dalam rantai pasok global, sekaligus menarik investasi asing masuk, yang pada akhirnya akan memperkuat sektor manufaktur.
Sejatinya, Indonesia dapat meneladani strategi perdagangan Vietnam. Dari luar, kebijakan proteksionis berbalut retorika nasionalis mungkin tampak melindungi industri dalam negeri, tetapi justru menghambat pertumbuhan karena mengisolasi ekonomi dari pasar global (yang sebetulnya menjadi tujuan ekspor).
Perubahan strategi penting untuk memastikan kita tidak tertinggal, sementara negara-negara tetangga seperti Vietnam terus melaju ke depan. Dengan mengadopsi strategi perdagangan yang lebih terbuka, Indonesia tidak hanya bisa mengamankan posisi yang lebih baik di pasar global, tetapi juga memperkuat sektor manufakturnya di jangka panjang.