Saat Aliran Modal Tiongkok Banjiri Indonesia: Untung atau Buntung?

Written by Alfian Banjaransari
First published on Indonesia Watch.id, 30 September 2024

Dengan kebijakan QE Tiongkok, dana segar yang mendadak berlimpah dapat memicu investasi yang salah sasaran di Indonesia.

Tiongkok akhirnya melonggarkan likuiditas perbankannya melalui kebijakan quantitative easing (QE) untuk menghidupkan ekonomi nasional Tiongkok. Akses permodalan yang melimpah ini tentu akan berdampak kepada Indonesia yang sangat tergantung kepada Tiongkok sebagai mitra dagang utamanya. Betapa tidak, peningkatan permintaan dari Tiongkok dapat mendorong ekspor komoditas Indonesia seperti: batu bara, minyak kelapa sawit, karet, dan lainnya.

Di sisi lain, aliran investasi asing (foreign direct investment/FDI) dari Tiongkok tak pelak akan memberi stimulus ekonomi dalam negeri. Namun, kita jangan sampai lengah dan menjaga keseimbangan antara keuntungan jangka pendek dengan ketahanan ekonomi jangka panjang. Pemerintahan baru presiden terpilih Prabowo Subianto perlu fokus memperkuat ekonomi nasional agar tidak terlalu mengandalkan faktor eksternal seperti komoditas dan likuiditas asing, yang sangat rentan pasang surut.

Inflasi Mengintai

Meski peningkatan ekspor perlu disambut gembira, ada risiko inflasi yang perlu diwaspadai. Lonjakan permintaan global (dalam hal ini dari Tiongkok) dapat membuat harga komoditas seperti makanan dan bahan bakar melonjak, yang akhirnya membebani konsumen dalam negeri.

Hal ini terjadi karena saat permintaan global naik, produsen cenderung lebih memilih pasar ekspor yang menawarkan harga lebih tinggi, sehingga pasokan untuk pasar domestik berkurang. Tahun 2022 inflasi Indonesia mencapai 5,51%, sebagian besar karena faktor eksternal seperti kenaikan harga pangan dan energi global, ditambah dengan kebijakan fiskal yang jor-joran pasca pandemi.

Dengan kebijakan QE Tiongkok, dana segar yang mendadak berlimpah dapat memicu investasi yang salah sasaran di Indonesia. Proyek-proyek boleh jadi akan lebih banyak didorong oleh ketersediaan modal yang melimpah ruah ketimbang permintaan pasar yang riil. Walaupun lapangan kerja mungkin meningkat dalam jangka pendek, risiko besar muncul ketika dana ini habis. Indonesia akan terancam krisis, terutama di tengah tekanan inflasi yang semakin berat.

Bank Indonesia perlu berhati-hati menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menaikkan suku bunga secara bertahap sesuai kondisi pasar, untuk menjaga inflasi tetap terkendali tanpa mematikan pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, reformasi subsidi—khususnya di sektor bahan bakar—dapat menjadi tameng untuk melawan guncangan inflasi yang lebih besar. Ini bisa jadi kesempatan bagi pemerintahan baru presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menunjukkan kesungguhannya dalam menjaga stabilitas fiskal.

Bukan Sekedar Proyek Mercusuar

Aliran modal dari dari Tiongkok memang memberi keuntungan jangka pendek, tapi Indonesia juga harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam investasi besar-besaran yang boleh jadi bermasalah, seperti yang dialami beberapa negara lain, misalnya Sri Lanka.

Alih-alih fokus pada proyek besar yang belum tentu menguntungkan, lebih baik Indonesia fokus pada sektor-sektor yang lebih menjanjikan pekerjaan stabil seperti tekstil dan garmen. Industri ini bersifat padat karya dan cocok untuk Indonesia yang memiliki biaya tenaga kerja yang (relatif) rendah. Indonesia juga memiliki peluang besar untuk mengembangkan ekspor alas kaki dan pakaian yang lebih bernilai tinggi.

Memperkuat Ketahanan Domestik

Ke depannya, ketahanan ekonomi Indonesia bergantung pada investasi di sektor pendidikan, infrastruktur, dan inovasi teknologi. Meningkatkan keterampilan tenaga kerja lewat pendidikan vokasi dan teknis sangat penting untuk memenuhi permintaan industri manufaktur maupun industri baru. Perbaikan infrastruktur pelabuhan dan transportasi juga krusial untuk menarik investor global.

Di sisi lain, reformasi iklim usaha agar lebih ramah bisnis dan akses kredit yang lebih luas untuk UMKM dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dari dalam, sehingga Indonesia tidak selalu terombang-ambing pada pasang surut permodalan asing.

Ekonomi digital juga punya potensi besar, apalagi dengan banyaknya populasi Indonesia yang muda dan melek teknologi. Investasi strategis di sektor e-commerce, fintech, dan layanan digital dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Intinya, kita perlu menyeimbangkan antara keuntungan jangka pendek dan pertumbuhan domestik jangka panjang, agar ekonomi Indonesia lebih tangguh dan tahan guncangan di tengah ketidakpastian global.