Menyoal Penundaan Paten Vaksin: Antara Niat Baik dan Salah Kaprah

Oleh: Alfian Banjaransari

Perhelatan KTT G20 baru saja usai digelar di Bali pada 15 – 16 November 2022 lalu. Pada kesempatan tersebut, pemerintah Indonesia yang diwakili Presiden Joko Widodo meluncurkan dana pandemi (pandemic fund) yang sedianya dimaksudkan agar dunia lebih siaga menghadapi pandemi serupa Covid-19 di masa depan.

Lebih lanjut, dalam salah satu pernyataannya, Presiden Joko Widodo juga mencetuskan gagasan agar ada perluasan penangguhan (waiver) terhadap paten yang berkaitan dengan teknologi kesehatan, semisal vaksin dan alat diagnostik. Nampaknya, inilah “pelajaran” yang dipetik pemerintah Indonesia dari pandemi Covid-19: perlu dana talangan di masa pandemi dan penangguhan paten untuk teknologi kesehatan terkait pandemi.

Terkait dengan gagasan perluasan penangguhan paten, sebenarnya hal ini bukan gagasan yang sama sekali baru. Sebelumnya, sejumlah negara seperti India dan Afrika Selatan juga pernah mencetuskan gagasan serupa terkait vaksin Covid-19. Gagasan ini pun boleh dibilang mendapat sambutan hangat. Apa pasal?

Ketimpangan akses terhadap vaksin Covid-19 melahirkan gagasan bahwa setiap negara sebaiknya berhak untuk membuat vaksin sendiri selama masa pandemi. Tak heran, muncullah kampanye untuk mengesampingkan perlindungan hak kekayaan intelektual (HAKI) pada vaksin COVID-19. Gagasan ini juga didukung Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Penangguhan paten vaksin COVID-19 ditengarai akan membuat negara berkembang terpacu memproduksi vaksin sendiri tanpa perlu membayar hak paten pada perusahaan farmasi.

Upaya pemerintah melindungi warganya di tengah bencana sejatinya tentu patut diapresiasi. Namun, gagasan yang diusung seperti diatas dapat berakibat buruk jika diterapkan secara gegabah. Mengapa demikian?

Secara implisit, gagasan di atas muncul dari pemahaman yang boleh dibilang simplistik mengenai siklus sebuah pandemi. Pemahaman semacam ini melihat fenomena pandemi secara linear. Ilustrasinya kurang lebih sebagai berikut:

1. Virus mematikan muncul dan menyebar luas,

2. Korban berjatuhan di berbagai negara,

3. Sebuah lab hi-tech di sebuah negara maju muncul dengan solusi untuk menghadapi pandemi (vaksin dan alat diagnostik, misalnya),

4. Negara-negara maju mendapat giliran pertama,

5. Negara-negara yang kurang beruntung tertinggal di belakang.

Mari kita tengok lebih dalam. Jika tujuannya adalah membuat vaksin menjadi terjangkau dan tersedia, sebagaimana komoditas lainnya, maka kuncinya adalah menghilangkan hambatan produksi/inovasinya sembari mendorong kompetisi untuk mempercepat proses sekaligus menurunkan harganya. “Barang berharga” seperti vaksin sebuah virus baru sekalipun, tunduk kepada fitrah sederhana ini. Pendekatan ini masuk akal sekaligus tepat guna, alih-alih mendapuk vaksin tertentu sebagai barang publik (public good) dan memperlakukannya seolah “benda keramat” yang secara ajaib yang kebal dari hukum ekonomi.

Lebih lanjut, dorongan untuk mencari jalan pintas semacam ini sejatinya muncul dari frustasi dan miskonsepsi. Banyak yang menganggap bahwa terobosan atau inovasi muncul seketika dari sebuah ruang hampa tanpa preseden apapun. Anggapan ini keliru, jika tidak mau dibilang menyesatkan. Mudah sebetulnya, tanyakan saja kenapa setiap terobosan teknologi muncul di lingkungan tertentu (yang didominasi negara yang itu-itu saja)? Kenapa negara asal terobosan tersebut selalu saja negara yang mengapresiasi kekayaan intelektual (atau gampangnya, negara “maju”)? Adakah hal ini kebetulan belaka?

Alih-alih menumpang kesuksesan terobosan vaksin belaka, kenapa tidak meneladani negara-negara yang cemerlang dalam inovasi? Bukankah ini hal yang masuk akal, jika semangatnya adalah mengantisipasi kemungkinan pandemi di masa yang akan datang?

Norma perlindungan dan pengakuan atas kekayaan intelektual telah disepakati dan dijunjung selama bertahun-tahun oleh negara-negara di seluruh dunia, terlepas dari keterbatasan yang ada. Gagasan pengesampingan paten hanya akan menciptakan gesekan/friksi yang berujung politisasi dan polarisasi antar negara. Apakah hal ini produktif di tengah antisipasi bencana dan malapetaka? Cendawan akan tumbuh subur di musim hujan. Pun demikian halnya dengan inovasi. Inovasi akan muncul di iklim yang kondusif dan apresiatif.

Lebih dari setahun telah berlalu sejak vaksin Covid-19 beredar luas di masyarakat. Nyatanya, tidak ada satu negara pun yang jatuh bangkrut karena belanja vaksin. Tentu, setiap negara akan menata ulang prioritasnya di tengah bencana yang melanda. Hal ini merupakan hal yang wajar dan menandakan bahwa pemerintah suatu negara tanggap akan keadaan. Tapi sampai jatuh bangkrut? Kok rasanya tidak ada. Menarik bukan? Patut menjadi bahan renungan, barangkali isunya bukan soal kesetaraan vaksin (vaccine equity), melainkan kesiapsiagaan setiap negara dalam menyongsong ketidakpastian.