STRUKTUR PAJAK TEMBAKAU RUMIT, EFEKTIVITAS PENINGKATAN PAJAK DIPERTANYAKAN

Oleh Dr. Carmelo Ferlito, CEO dari Center for Market Education

Pertama kali disiarkan di GATRA pada 27 June 2022

Indonesia memiliki sistem perpajakan produk tembakau yang rumit dengan berbagai jenis pajak (per batang) yang berbeda untuk setiap perbedaan terhadap jenis produk tembakau, metode produksi, volume produksi dan harga per banderol. Untuk jenis produk rokok umum berupa kretek produksi mesin, rokok putih produksi mesin, dan kretek produksi tangan, sistem cukai dipisahkan dalam 10 jenjang tarif dengan PPN sebesar 10%.

Telah dikalkulasi bahwa secara rata-rata**, persentase pajak rokok di Indonesia bisa mencapai 63,50% dari harga eceran akhir, setelah cukai dinaikkan sebesar 12,5%. Ketika kenaikan cukai berlaku pada Januari 2022, total jenis jenjang tarif pajak berkurang dari 10 menjadi 8, tetapi sistem perpajakan Indonesia tetap di antara yang paling rumit di dunia.

Walaupun sistem perpajakan begitu rumit dan mahal, bagi produsen maupun konsumen, tetap tidak mampu mengurangi konsumsi tembakau: bahkan, penduduk dewasa di Indonesia (usia 15+) 33,8% adalah pengguna tembakau, termasuk hampir dua pertiga pria (62,9% pria; 4,8% wanita). Demikian juga 19,5% angkatan muda (usia 13-15 tahun) telah merokok (35,6% laki-laki; perempuan 3,5%).

Penggunaan pajak sebenarnya memunculkan beberapa masalah teoritis dan praktis. Para pakar dan ahli perpajakan bersetuju bahwa sistem perpajakan yang berbasis umum (luas) akan lebih tidak distortif dan tidak diskriminatif dibandingkan dengan bentuk perpajakan berbasis khusus (sempit). Hal ini didukung oleh pertimbangan keteradilan, dan tentu saja memajaki hanya suatu produk atau perilaku tertentu melanggar keadilan horizontal dan vertikal.

Contohnya, pajak penjualan memenuhi keadilan horizontal jika tidak mendiskriminasi jenis konsumsi tertentu. Dalam hal ini, suatu pajak penjualan umum dikenakan terhadap pembelian dalam jumlah tertentu, tanpa membedakan jenis konsumsinya. Sebaliknya, memajaki rokok, atau alkohol dan lain-lain menciptakan ketidakadilan horizontal karena akan memberi dampak berbeda bagi orang-orang walaupun mereka mengeluarkan uang yang sama tetapi dalam produk yang berbeda.

Pajak terhadap rokok melanggar prinsip keadilan vertikal yang diterima umum, karena pajak tersebut dikenakan lebih tinggi terhadap orang dengan pendapatan rendah dibandingkan dengan orang berpendapatan tinggi; dan produk seperti nikotin dan alkohol bersifat menimbulkan ketergantungan (adiktif) sehingga permintaannya bersifat tidak elastis, yang artinya konsumsi relatif tidak sensitif terhadap perubahan harga. Sehingga, ketika harga produk-produk ini meningkat karena pajak, jumlah yang diminta cenderung tetap stabil; artinya, otomatis kenaikan harga relatif terjadi lebih tinggi pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah.

Pada saat yang sama, beberapa bukti menunjukan bahwa kenaikan harga yang disebabkan pajak pada produk seperti rokok hanya memunculkan dan menyuburkan pasar gelap untuk produk ilegal, yang karenanya membuat konsumen terpapar dengan produk yang lebih murah tetapi dengan kualitas yang dipertanyakan, – dan menghilangkan kesempatan pemerintah untuk meraih pendapatan fiskal.

Penelitian terbaru menemukan bahwa konsumsi rokok ilegal berfluktuasi antar 19 miliar batang pada 2007 menjadi 14 miliar batang pada 2013, dan meningkat tajam menjadi 59 miliar batang pada 2018. Secara persentase, konsumsi rokok ilegal terendah di angka 5% pada 2013 dan tertinggi 19 persen dari konsumsi pada 2018. Perkiraan kerugian pemerintah berkisar antara Rp24,2 hingga 42,0 triliun (AS$ 1,668 hingga 2,897 miliar), sekitar 5,8% hingga 27,5% dari pendapatan cukai rokok pada 2018.

Khusus untuk kasus Indonesia, masalah perpajakan diperparah dengan kerumitan sistem perpajakan. Sistem cukai pajak yang rumit ini menciptakan banyak celah peraturan yang menguntungkan beberapa pemain dalam industri rokok karena mereka bisa menghindari membayar cukai lebih tinggi. Sebuah penelitian tentang harga rokok yang didanai oleh Universitas Indonesia menyimpulkan, meski pemerintah Indonesia terus mempertinggi pajak rokok, namun rumitnya struktur perpajakan malah mengurangi efektifitas peningkatan pajak rokok dengan tujuan membuat rokok menjadi lebih tidak terjangkau. Struktur pajak yang berlapis memberi insentif bagi perusahaan rokok untuk memproduksi rokok dengan tingkat tarif cukai yang lebih rendah.

Pemerintah Indonesia sadar dengan kelemahan sistem pajak cukai tembakau ini dan dalam dekade terakhir ini telah dua kali menerbitkan roadmap penyederhanaan sistem pajak cukai tembakau, pada 2009 dan 2018 (PerMenKeu No. 146/2017), untuk mengatasi kelemahan ini. Walau pada awalnya ada kemajuan dalam hal penyederhanaan jenjang tarif cukai pajak yang sebelumnya 19 jenjang tarif pada 2009 menjadi 10 pada 2018, tetap usaha penyederhanaan ini berhenti karena pemerintah menghentikan roadmap-nya pada 2018 sehingga rencana penyederhanaan lebih lanjut tidak terwujud yang sebenarnya menjadi 5 jenjang saja pada 2021.

Bahkan, sebenarnya roadmap penyederhanaan cukai tembakau 2018 ini didukung oleh Bank Dunia dan berbagai lembaga kesehatan publik; lebih khusus Bank Dunia memuji usulan ini dan menekankan perlunya Indonesia untuk secara berkelanjutan mengarah pada cukai pajak tarif tunggal sebagai bagian dari reformasi pajak dan sekaligus strategi mengurangi dampak buruk tembakau.

Memberlakukan kembali Roadmap 2018 akan mengatasi beberapa masalah dalam struktur perpajakan tembakau, dan juga membantu meningkatkan penarikan pendapatan pajak yang juga bisa membantu mendorong pemulihan ekonomi pasca pandemi di Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa peningkatan cukai sebesar 10-11% pertahun dengan hanya 5 jenjang tarif pada 2022 akan menghasilkan tambahan pendapatan cukai sebesar Rp39,5 triliun dibandingkan 2019, dan juga mengurangi jumlah perokok dan kematian prematur. Walaupun, pemerintah tetap perlu berhati-hati dengan potensi akibat yang tidak terduga dari menaikan cukai rokok, tetapi keuntungan dari reformasi pajak rokok adalah sangat nyata adanya.

Pada Januari 2020 pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden yang mengatur tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yang menyorot pula penyederhanaan pajak tembakau sebagai reformasi pajak. Walaupun ada beberapa poin positif di dalamnya, akan tetapi masih tetap dengan masalah utama: walaupun bertujuan untuk menyederhanakan struktur pajak, tetapi tetap menekankan perlunya meningkatkan tarif cukai produk tembakau, dalam usaha untuk memangkas “perilaku tidak sehat.” Sepertinya pemerintah belum sepenuhnya mampu belajar dari kelemahan sistem yang ada sekarang.

Ada sebuah problematika ontologis dari pendekatan ini, dari apa yang ekonom sebut sebagai “eksternalitas”: sebagaimana dijelaskan oleh pemenang Nobel Ronald H. Coase pada tahun 1960, bahwa cara saat ini dalam mengatasi eksternalitas dengan memusatkan perhatian pada keburukan tertentu dalam sistem dan cenderung memelihara kepercayaan bahwa cara apapun yang dipakai untuk menghilangkan keburukan tersebut adalah baik adanya.

Akan tetapi, dengan berpikir seperti ini malah mengalihkan perhatian dari perubahan lain dalam sistem yang adalah hasil dari atau berhubungan dengan usaha perbaikan, yang mana perubahan malah menghasilkan lebih banyak keburukan baru daripada keburukan asli awalnya (sebagaimana yang kita lihat di atas adalah suburnya pasar gelap produk rokok karena rezim pajak yang tinggi).

Lebih lanjut, Coase menambahkan bawah ekonomi kesejahteraan tradisional secara de facto membandingkan hasil dari proses pasar dengan sebuah keadaan yang muncul dari semacam dunia idiil; dengan membandingkan seperti ini, alternatif yang tersedia tidak bisa dibandingkan dengan benar. Sebenarnya tidak perlu analisa banyak untuk menunjukan bahwa dunia yang ideal adalah lebih baik dari keadaan laissez faire, kecuali jika kita definisikan keadaan laissez faire dan dunia ideal sebagai sama.

Akan tetapi, seluruh diskusi ini sebenarnya tidak relevan untuk menjawab pertanyaan kebijakan ekonomi karena apapun yang kita pikirkan tentang bagaimana itu dunia ideal, jelaslah kita tidak akan pernah menemukan cara bagaimana mencapainya. Pendekatan yang lebih baik adalah dengan memulai analisa kita dengan keadaan yang paling dekat dengan kenyataan, lalu menguji dampak atau perubahan dari kebijakan yang disarankan dan mencoba memutuskan apakah situasi yang baru akan, secara total, lebih baik atau lebih buruk dari keadaan sebelumnya. Dengan cara ini, kesimpulan dari suatu kebijakan akan punya relevansi bagi situasi nyata.

Ajakan Coase adalah ajakan untuk memiliki kerendahan hati dalam pembuatan kebijakan. Usaha RPJMN untuk me-reformasi strukur pajak tembakau, karenanya, janganlah dianggap sebagai alat untuk menghentikan perilaku “berdosa” dengan pajak sebagai senjatanya; sudah sering dibuktikan bahwa usaha seperti ini sering gagal. Sebaliknya, langkah menuju pada sebuah cukai tarif tunggal haruslah menjadi bagian dari suatu usaha umum untuk membentuk suatu strategi pengurangan dampak buruk yang efektif.

Keuntungan terpenting dari penyederhanaan pajak tembakau adalah untuk menghindari permainan berkelit tentang produksi produk tembakau dalam berbagai jenjang lapisan tarif cukai, permainan ini yang lebih menguntungkan para pemain besar dibanding produsen lokal kecil. Dengan penyederhanaan ini, pemberlakuan pajak menjadi lebih mudah, dan pendapatan Pemerintah akan diuntungkan. Ini tentunya tujuan pembuatan kebijakan yang lebih diinginkan, lebih khusus dalam keadaan ekonomi saat ini, menyeimbangkan antara tingkat pendapatan pajak dengan perlindungan yang cukup terhadap produsen kecil.

Riset kolaborasi dengan CEO Provalindo Nusa Dua, Chandra Rambey