Menyoal Kenaikan Harga BBM: Akankah Memicu Inflasi?
Oleh Carmelo Ferlito, CEO of the Center for Market Education, dan Alfian Banjaransari, CEO of the Center for Market Education Indonesia.
“Alih-alih mengendalikan harga sebuah komoditas yang harganya fluktuatif, sebaiknya pemerintah mengandalkan inovasi yang bertumpu kepada kebebasan dan keterbukaan pasar”.
Pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Setelah wacana ini menggelinding ke publik selama dua pekan terakhir dari bulan Agustus, tepat pada awal September 2022 pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM Pertalite dan Pertamax yang dijual di Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) Pertamina di seantero negeri. Kenaikan harga BBM kali ini, sebagaimana kenaikan harga BBM sebelumnya, disambut dengan pro dan kontra di masyarakat.
Perdebatan mengenai perlu tidaknya BBM disubsidi kembali mengemuka. Ada kalangan yang menolak berargumen bahwa BBM adalah kebutuhan esensial yang berpengaruh terhadap hajat hidup rakyat sehingga harus terjangkau. Sebaliknya, ada kalangan yang mendukung kenaikan harga beralasan beban subsidi yang ditanggung pemerintah sudah terlalu berat dan tidak tepat sasaran. Selain itu, pendapat-pendapat lain pun mewacana, semisal alokasi ideal penggunaan APBN, hingga bentuk intervensi yang tepat pasca kenaikan harga BBM bersubsidi.
Meski banyak pendapat, uniknya, hampir semuanya sepakat bahwa kenaikan BBM bersubsidi akan memicu inflasi. Benarkah anggapan sedemikian? Tulisan ini hendak membahas keterkaitan antara kenaikan harga BBM bersubsidi dengan inflasi.
Terhadap keputusan kenaikan harga BBM bersubsidi ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri mengatakan bahwa pemerintah “tidak akan tinggal diam” atau dalam kata lain akan mengambil langkah intervensi dalam upaya penyelamatan ekonomi. “Menteri-menteri saya berkata bahwa (inflasi) akan naik 1,8%. Itu kalau kita diam. Kita tidak mau tinggal diam,” kata Jokowi.
Sekadar informasi, inflasi Indonesia pada Agustus berada di level 4,69% setelah sebelumnya bertengger di level 4,94%, level tertinggi selama tujuh tahun. Benar saja, pada waktu bersamaan dengan pengumuman kenaikan harga BBM bersubsidi, pemerintah juga mengumumkan serangkaian bantuan kepada masyarakat yang dianggap terdampak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp150.000 (11 dolar AS) per keluarga yang diperuntukkan bagi 20,6 juta keluarga miskin. Selain itu, Rp9,6 triliun (644 juta dolar AS) juga akan dibagikan kepada pekerja berupah rendah. Pemerintah juga menganggarkan dana untuk mensubsidi biaya transportasi, terutama pengemudi ojek daring dan nelayan. Pemerintah menyebut, anggaran untuk bantuan-bantuan tersebut akan diambil dari anggaran yang diperuntukkan untuk subsidi BBM.
Fenomena pemerintah “turun tangan” membuat banyak kalangan mengernyitkan dahi. Tentu, niat pemerintah untuk menolong masyarakat rentan patut diapresiasi. Namun, dibalik itu, sesungguhnya banyak hal yang perlu menjadi sorotan. Pertama, kita harus menyadari bahwa harga BBM bersubsidi sesungguhnya tidak dapat serta merta dibilang naik. Yang terjadi adalah, jumlah subsidinya yang turun. Harga BBM yang baru ini lebih dekat dengan harga pasaran dunia. Meski demikian, harga BBM yang baru ini tetap saja terhitung murah di antara negara-negara lain.
Berkat kebijakan subsidi BBM selama bertahun-tahun, masyarakat Indonesia terbiasa dengan harga BBM yang sengaja dibuat di bawah harga pasar. Tidak, ini bukan sekedar permainan kata-kata belaka. Pemerintah kini hanya berusaha memperkecil kesenjangan antara harga jual domestik dengan harga pasaran dunia.
Banyak kalangan yang telah sejak lama mengkritik kebijakan (atau kebiasaan?) subsidi BBM ini. Selain boros, kebijakan ini juga kerap disalahgunakan. Lucunya, pemerintah sendirilah yang berulang kali mengakui bahwa alih-alih dinikmati oleh kalangan berpenghasilan menengah ke bawah, kebijakan BBM bersubsidi justru paling banyak dinikmati oleh kalangan berpunya. Seolah, pemerintah mengakui kekeliruan dari kebijakan yang diwariskan “turun-temurun” dari satu rezim ke rezim lainnya.
Kembali kepada persoalan inflasi. Agaknya perlu digaris bawahi, bahwa inflasi bukanlah semata-mata kenaikan harga secara umum. Karena jika memang demikian adanya, bukankah harga-harga senantiasa bergerak fluktuatif? Ada komoditas yang harganya bergerak naik, namun pada saat yang bersamaan ada pula yang turun. Lantas, apa sesungguhnya inflasi itu?
Pada dasarnya, inflasi berpangkal pada pertumbuhan jumlah uang yang beredar. Terkait dengan kenaikan harga BBM bersubsidi, sebetulnya mudah saja. BBM, sebagaimana komoditas lain, memiliki harga pasaran. Terlepas dari terbuka atau tidaknya harga pasaran tersebut untuk diketahui masyarakat, demikianlah kenyataannya. Sekarang pilihannya tinggal dua: Pertamina mendapat uang dari pemerintah dalam bentuk subsidi atau dari konsumen dalam bentuk harga yang lebih mahal.
Sama saja bukan? Kedua skenario ini meniscayakan inflasi. Jika selisih harga ditanggung konsumen, hal ini akan berujung kepada pengurangan konsumsi yang akan menimbulkan kontraksi. Jika sebaliknya, pemerintah yang menombok via subsidi, maka defisit anggaran akan meningkat. Hal ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Betul, sejatinya inflasi memang sedapat mungkin dihindari. Alih-alih mengendalikan harga sebuah komoditas yang harganya fluktuatif, sebaiknya pemerintah mengandalkan inovasi yang bertumpu kepada kebebasan dan keterbukaan pasar. Tidak kalah pentingnya, pemerintah perlu dengan terbuka menjelaskan dasar perhitungan harga jual BBM yang hingga kini dipersepsikan tertutup dan membingungkan.
*Carmelo Ferlito merupakan Direktur Eksekutif (CEO) dari Center for Market Education. Sementara, Alfian Banjaransari merupakan Direktur Eksekutif (CEO) dari Center for Market Education Indonesia