Berkolaborasi dengan Prasetya Mulya, CME-ID Luncurkan “Indonesia Economic and Business Outlook 2023”

Jakarta, 18 April 2023 – Situasi ekonomi global dan domestik perlahan rebound setahun terakhir setelah hampir semua negara melakukan pelonggaran kebijakan pengendalian Covid-19. Pemerintah Indonesia sejak 18 April 2022 resmi mengubah status pandemi menuju endemi dalam konteks penanganan wabah Covid-19. Pengubahan status tersebut disambut baik oleh kalangan industri dan pelaku usaha untuk meningkatkan kinerja menjadi lebih baik.

Data dari Badan Pusat Statistika (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami masa suram sepanjang 2020, yakni minus 2,07 persen secara year on year (yoy). Di tahun tersebut, pemerintah menggencarkan kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala besar di sejumlah wilayah di Indonesia. Kebijakan tersebut berpengaruh pada aktivitas usaha dan pertumbuhan ekonomi secara umum.

Di tahun setelahnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perbaikan. Perekonomian Indonesia berhasil mencatatkan kinerja positif dengan tingkat pertumbuhan sebesar 3,69 persen pada 2022, dan berhasil tumbuh sebesar 5,31 persen pada 2022. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi 2023 diperkirakan tetap kuat pada kisaran 4,5-5,3% didorong oleh peningkatan permintaan domestik, baik konsumsi rumah tangga maupun investasi.

Geliat ekonomi pasca pandemi menjadi salah satu topik yang dibahas dalam acara “Seminar Outlook Ekonomi dan Bisnis Prasetiya Mulya 2023” di Kampus Universitas Prasetiya Mulya, Tangerang, Banten pada Selasa, 18 April 2023. Seminar tersebut diselenggarakan Kampus Prasetiya Mulya bekerja sama dengan Center for Market Education (CME) dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dengan mengusung tema “Perlindungan Terhadap Dampak Perubahan Kebijakan Pasca Pandemi” (Insulation Against the Damaging Impacts of the Post-Pandemic Policy Reversal).

Dalam seminar tersebut turut dipaparkan laporan “Indonesia Economic and Business Outlook 2023” yang merupakan publikasi penelitian hasil kerja sama Universitas Prasetiya Mulya dengan CME. Laporan tersebut ditulis oleh 13 peneliti di antaranya Albert Hasibuan, Alfi Syahrin Ario Waskito (Economist dari CME-Indonesia), Alfian Banjaransari (Country Manager dari CME-Indonesia), Angel Sanjaya, Carmelo Ferlito (Chief Executive Officer dari CME), Eusebius Pantja Pramulya, Felicia Gracelle, John Arnold Matthew, Nixon Widjaja, Paolo Casadio, Razim Ismail (CME-Malaysia), Stevania Serena Tanuwijaya, dan Yohanes B. Kadarusman, serta dilengkapi kata pengantar oleh Prof. Djisman S. Simandjuntak.

Kegiatan seminar dibuka dengan kata sambutan atau keynote speech dari Rektor Universitas Prasetiya Mulya, Prof. Djisman S. Simandjuntak. Seminar terbagi atas tiga isu besar. Yakni, “Perlambatan Prospek Ekonomi Makro” yang dibahas pada sesi seminar pertama, “Gaung Industri Pilihan” pada sesi seminar kedua, dan “Pra-Pemilu Tahun 2023: Poin Krusial” pada sesi seminar ketiga.

Rektor Universitas Prasetiya Mulya, Prof. Djisman S. Simandjuntak membuka kegiatan dengan pemaparan berjudul “Stabilitas Ekonomi di Tengah Tekanan Lingkungan Kebijakan”. Djisman menyebut, pandemi telah berimplikasi pada penurunan laju pertumbuhan ekonomi, kenaikan inflasi yang tidak terkendali, meningkatnya angka pengangguran, dan merosotnya transaksi perdagangan yang selama ini menjadi sumber pertumbuhan ekonomi global.

“Asia Tenggara sekarang jauh lebih baik daripada negara-negara lain di dunia. Cina kembali menjadi bagian dari dunia dan tumbuh kembali usai pembatasan [kebijakan] Covid-19. Saat ini semua negara sedang dan berhasil memulihkan situasi.” ujar Djisman.

Ekonom senior itu menyebut, Indonesia berada di pusaran “pertandingan” ekonomi di tingkat kawasan. Menurut Djisman, Asia Tenggara diproyeksikan mengalami penguatan ekonomi di angka 6%. Indonesia menurutnya harus mampu mencapai proyeksi pertumbuhan ekonomi yang optimal di tengah negara-negara lain di Asia Tenggara yang juga mengalami pertumbuhan ekonomi yang moderat. “Vietnam sekarang menjadi new champion (juara baru) yang diproyeksikan tumbuh di level 6,3%, Kamboja diprediksi berkisar antara 6,3% hingga 6,8%. Bagi Indonesia tantangannya ada di stabilitas ekonomi, yakni bagaimana menstabilkan portofolio kita, menstabilkan investasi kita, dan menstabilkan cara kita mengelola ekonomi ini,” Prof. Djisman menjelaskan.

Ibarat “blessing in disguise”, pandemi yang memunculkan ketidakpastian juga berdampak positif terhadap lahirnya teknologi baru dan lingkungan kerja berbasis teknologi. Di sisi lain, banyak negara saat ini mulai menyadari pentingnya isu-isu yang berkaitan dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, restorasi dan konservasi keanekaragaman hayati, serta praktik pengelolaan SDM non-diskriminasi.

Pada sesi pertama, Wakil Dekan 2 Fakultas Bisnis dan Ekonomi Universitas Prasetya Mulya. Dr. Adrian Teja memaparkan presentasi berjudul “Ketahanan Finansial Indonesia Menghadapi Krisis Perbankan AS dan Eropa”. Ia memulai pemaparan dengan menceritakan kondisi perbankan Amerika Serikat (AS), runtuhnya Sillicon Valley Bank (SVB) dan kebijakan Federal Reserve yang memilih menaikkan suku bunga untuk menahan inflasi.

Adrian mengatakan, krisis perbankan AS dan Eropa mencemaskan sejumlah ekonom dunia. Meski demikian, ia meyakini Indonesia mampu mengatasi ancaman krisis perbankan dengan segala kebijakan dan praktik pengalaman. “Sekarang ketergantungan perusahaan publik terhadap pembiayaan perbankan cenderung menurun. Di sisi lain, tren perusahaan publik yang menjadi firma all-equity justru naik,” kata Adrian.

Pada sesi kedua, Direktur Asia Strategic Consulting sekaligus peneliti dari HELP University, Prof. Paolo Casadio menyampaikan paparan berjudul “Respon Indonesia terhadap Ketidakstabilan Ekonomi Makro Global”. Paolo menggunakan pendekatan dengan prospek makro ekonomi dengan menggunakan analisis skenario berupa aspek siklus, perubahan struktural dalam sistem keuangan.

“Dari analisis ekonomi kita dapat melihat bahwa dunia sudah “kembali normal” dari sisi pertumbuhan ekonomi. Di mana pola mulai dibangun kembali dan [kekuatan] ekonomi Asia Tenggara mendekat atau melampaui proyeksi yang ada,” kata Paolo.

Analisis periset dari Asia Strategic Consulting ini menyebut Indonesia akan menjelma salah satu raksasa ekonomi di Asia Tenggara dengan proyeksi pertumbuhan yang kembali normal. Hal tersebut dicapai berkat stimulus besar-besaran dari kebijakan pemerintah. “Berkat fundamental yang kokoh, Indonesia dan Top 10 Ekonomi ASEAN lainnya tidak akan mengalami resesi pada 2023,” ucapnya.

Sementara itu, Chief Executive Officer (CEO) dari Center for Market Education, Carmelo Ferlito memaparkan presentasi berjudul “Melemahnya Kepercayaan Konsumen dan Produsen”. Carmelo mengatakan, ekspektasi seringkali menemukan ruang sempit dalam peramalan ekonomi. Meski demikian, ekspektasi lebih penting dari yang dipikirkan banyak orang karena ekonomi bukan hanya tentang benda atau material yang berwujud.

Ia menjelaskan tentang konsep Consumer Confidence Index (CCI) atau Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Di mana tingkat keyakinan atau ekspektasi konsumen menjadi berbeda dan jauh lebih stabil dengan dimulainya pandemi dan kebijakan lockdown yang bersifat ketat. “Osilasi (goyangan) dalam kepercayaan dan ekspektasi cukup ringan selama tiga tahun sebelum pandemi. Pada saat yang sama, standar deviasi tetap terbatas, semakin memperkuat hipotesis kepercayaan dan ekspektasi yang stabil di kalangan konsumen Indonesia,” tutur Carmelo.

Ia menjelaskan, dampak pandemi Covid-19, terkait dengan tingkat intervensi pemerintah yang lebih tinggi dalam ekonomi dan keputusan pembatasan pergerakan (PPKM) yang tidak konsisten. Situasi tersebut menimbulkan menimbulkan tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi. Jika selama periode 2017-2019, CCI  (Consumer Confidence Index) berubah rata-rata 1,88% per bulan, CECI (Current Economic Condition Index) sebesar 2,23% dan CEI (Consumer Expectation Index) sebesar 1,71%, pada periode 2020-2022 rata-rata perubahan bulanan melonjak menjadi 6,8% untuk CCI , 9,19% untuk CECI dan 6% untuk CEI.

“Kepercayaan konsumen membaik, tetapi tetap rapuh. Sebaliknya, kepercayaan bisnis terus memburuk, dan PMI (Purchasing Manager’s Index) diperkirakan akan sedikit menurun juga. Faktor utama yang akan memengaruhi ekspektasi adalah memburuknya skenario perdagangan internasional, serta keputusan dalam kebijakan moneter dan fiskal,” ujarnya.

Pada sesi ketiga, Presiden dari Center for Market Education Indonesia (CME-ID), Chandra Rambey memberikan pemaparan berjudul “Tren Real Estat dan Kawasan Industri Indonesia”. Dalam presentasinya, Chandra membahas property dan kaitannya dengan ekonomi. “Real Estate sector itu menjadi salah satu yang cukup memberikan indikator kepada kita tentang tren ekonomi di masa yang akan datang. Sudah banyak memang kajian yang mengatakan bahwa hubungan antara krisis ekonomi dengan real estate itu mempunyai relasi yang cukup kuat,” kata Chandra.

Ia menjelaskan, setiap krisis ekonomi kerap kali diawali dengan penurunan investasi di bidang properti. Hal ini itu merujuk pada penelitian yang cukup panjang di AS mulai dari periode “Great Depression” hingga “Great Recession”. “Sebanyak 12 kali resesi kecil mengatakan bahwa krisis ekonomi selalu didahului oleh penurunan investasi bahkan penurunan penjualan di bidang properti. Karena itu, penting bagi kita mempelajari perilaku dari pasar properti untuk mengantisipasi krisis ekonomi yang akan terjadi atau ekonomi global,” ucapnya.

Chandra menyebut, dari sisi fiskal, terdapat dua kebijakan pemerintah sebenarnya yang memberikan keuntungan kepada sektor properti. Pertama, adanya kemudahan ataupun kelonggaran di dalam pembayaran Down Payment atau uang muka rumah yang mendorong masyarakat untuk membeli rumah khususnya untuk rumah-rumah pertama (subsidi). “Yang kedua, adanya PPN DTP yang ditanggung pemerintah sebesar 50% ini yang mendorong pembeli rumah untuk lebih agresif dan berani (mengambil keputusan),” kata Chandra.

Di kesempatan yang sama, “Seminar Outlook Ekonomi dan Bisnis Prasetiya Mulya 2023” juga menghadirkan pembicara dan pakar penting lainnya, antara lain Pengajar dari Sekolah Bisnis dan Ekonomi Universitas Prasetya Mulya, Eusebius Pantja Pramudya dengan paparan “CPO Cash Cow bagi Perekonomian Indonesia”, Pengajar dari Sekolah Bisnis dan Ekonomi Universitas Prasetya Mulya Albert Hasudungan dengan topik “Industri Migas: Tren dan Tantangan”. Selanjutnya, ada Senior Fellow dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Rizal Sukma yang hadir di presentasi sesi terakhir dengan topik “Pra-Pemilu Tahun 2023: Poin Krusial”.

**