CME ID: Resesi atau Kelesuan Ekonomi: Akankah Terjadi?

Selasa, 1 November 2022: Masyarakat Indonesia tengah disuguhi perdebatan mengenai resesi global yang diramalkan akan terjadi pada tahun 2023. Pro dan kotra mengenai kemungkinan resesi pada tahun 2023 beserta cara terbaik menghadapinya kembali menghangat. Menanggapi hal ini, Center for Market Education Indonesia (CME ID) mengajak masyarakat luas, pengamat, serta pembuat kebijakan untuk bersama-sama berdiskusi dengan mengedepankan akal sehat. Di satu sisi, kita tidak ingin ancaman resesi diremehkan, namun di sisi lain kita tentu juga tak ingin agar masyarakat dilanda kecemasan berlebih.

“Biasanya, resesi diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi negatif selama dua triwulan berturut-turut”, jelas Alfian Banjaransari, CEO dari CME ID. “Tapi sebelumnya kita perlu mendalami, kemungkinan yang lebih mungkin terjadi itu resesi atau perlambatan ekonomi semata?” tambahnya.

“Sebetulnya, jika mengacu pada sejumlah teori ekonomi, kita dapat memprediksi terjadinya krisis ekonomi dan inflasi pasca Covid-19 sebagaimana yang dapat dilihat dalam artikel dan rilisan opini yang sudah pernah kami buat,” ungkap Chandra Rambey, Presiden CME ID.

Lebih lanjut, CME ID memandang bahwa konflik geopolitik yang kerap digadang-gadang sebagai pencetus resesi sebenarnya hanya menambah kelesuan ekonomi, yang merupakan konsekuensi tak terhindarkan dari kebijakan fiskal dan moneter ekspansif yang dilakukan selama masa lockdown. Lockdown secara global, alih-alih menjadi senjata melawan virus, menjadi ajang pemerintah negara-negara di berbagai belahan dunia untuk berlomba-lomba meningkatkan jumlah sirkulasi uang melampaui tingkat pertumbuhan GDP masing-masing negara. Ujung-ujungnya, yang terjadi adalah ilusi pemulihan ekonomi yang ditopang inflasi, yang pada akhirnya diikuti oleh kelesuan ekonomi.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Akankah Indonesia terjerembab ke dalam jurang resesi ekonomi? Ataukah hanya akan mengalami perlambatan belaka? Sebetulnya jawaban ini akan tergantung dari sejumlah faktor, termasuk di dalamnya faktor-faktor global. Meski demikian, terdapat sejumlah langkah-langkah di tingkat domestik yang semestinya dapat diambil untuk menghindari dampak yang mungkin muncul.

Pertama-tama, kita perlu membedakan dua level tindakan: langkah kebijakan pemerintah dan perilaku individu.

Terkait dengan kebijakan pemerintah, CME ID memandang perlu bagi pemerintah untuk secara sungguh-sungguh menghadapi inflasi. Pemerintah tak bisa mengatasi inflasi hanya dengan menaikkan tingkat suku bunga. Upaya mengatasi inflasi hendaknya dibangun diatas dua pilar utama:

  • Rencana terukur untuk mengurangi belanja pemerintah, dengan komunikasi yang baik dan jelas kepada masyarakat akan pilihan beserta konsekuensi yang mungkin timbul;
  • Pengenalan sistem pengaturan dan pengutamaan anggaran berimbang. Hanya dengan cara inilah belanja pemerintah dapat dibatasi, jika tidak mampu menghilangkan sepenuhnya kekuasaan prerogratif pemerintah atas ketersediaan uang.

Di tingkat individu, kita bersama-sama perlu menggiatkan kembali peningkatan tabungan pribadi. Betul, hal ini akan mengurangi tingkat konsumsi dan diatas kertas akan “mencoreng” pertumbuhan GDP (semata-mata karena GDP mengukur tingkat konsumsi). Meski demikian, peningkatan tabungan akan memiliki sejumlah dampak positif antara lain:

  • Mengembalikan kekuatan mata uang rupiah kita
  • Menciptakan iklim suku bunga rendah yang akan mendorong investasi

Lebih lanjut, generasi muda bangsa hendaknya bersama-sama mendorong lapangan kerja terintegrasi di wilayah ASEAN. Lapangan kerja regional ini akan membuka kesempatan kerja yang luas dimana tenaga kerja dapat mencari kesempatan dan karir di negara-negara ASEAN. Hal ini akan membawa manfaat baik bagi tenaga kerja (kesempatan kerja lebih banyak serta insentif untuk meningkatkan keterampilan misalnya) maupun pemberi kerja (ketersediaan tenaga kerja). Terobosan ini akan mendorong peningkatan produktivitas di kawasan.

Mengapa? Produktivitas adalah elemen kunci untuk mengatasi inflasi dan bentuk-bentuk disrupsi ekonomi lainnya. Karenanya, pemerintah hendaknya berfokus pada empat area:

  • Pengembangan infrastruktur strategis yang mendorong iklim ramah bisnis dan investasi, alih pembangunan infrastruktur di wilayah terpencil yang minim kegiatan ekonomi
  • Perluasan insentif untuk investasi dalam maupun luar negeri
  • Perluasan perlindungan hak kepemilikan sekaligus pengimplementasian Omnibus Law
  • Penguatan perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual (HAKI) untuk mendorong investasi dan sekaligus membawa Indonesia keluar dari jebakan negara bahan baku

English Version

CME-ID: How to get ready for the economic slowdown

Tuesday, 1 November 2022: The debate is growing in Indonesia about the possibility of a recession in 2023 and how the people should get ready to handle it. At this regard, the Center for Market Education Indonesia (CME-ID) invites the public, analysts and policymakers to a sound debate which would avoid both denying the difficulties that are coming and the prevalence of panic.

“A recession is usually defined as two consecutive quarters of negative quarters”, explained Alfian Banjaransari, CEO of CME-ID; “we need an in-depth analysis to understand if what is coming is indeed a recession or, more generally, an economic downturn”, he added.

“Thanks to a close observation of reality and a wide approach to economic theory, CME was able to foresee the emergence of a post-Covid and inflation-led economic crisis as early as May 2021, as some of our opinion articles and papers demonstrate”, Chandra Rambey, President of CME-ID, added.

CME-ID therefore invites to understand that the undergoing geopolitical tensions are just aggravating the chances of an economic downturn, which is instead the unavoidable consequence of expansive fiscal and monetary policies adopted during the Great Lockdown; stay-at-home orders, far from being effective in fighting against a virus, forced governments around the world to increase the amount of money into circulation much beyond the rate of growth of GDP, putting the foundations for a very fragile and inflation-driven economic recovery, followed by an inflation-led economic downturn.

If 2023 in Indonesia will be characterized by a slowdown or by a recession will depend on many factors, including the evolution of the international scenario, but domestically actions can be taken to mitigate the impact of what is about to come. We need to distinguish two levels of action: policymaking and individual behaviour.

With regard to policymaking, CME-ID invites the government first and foremost to seriously tackle the issue of inflation, which cannot simply be addressed with interest rate hikes: the interest rate is not a magic stick. A serious fight against inflation should be based on the following two pillars:

  • A sound plan of gradual government spending cuts, properly communicated to the people to make it understood as the best option at hand;
  • The introduction of simple and automatic rules for the primacy of balanced budgets, in order to limit, if not to completely eliminate, the discretionary power of the government over money supply.

Individual behaviour, instead, should be reoriented toward the creation of savings; in fact, despite the reduction of consumption could bring an economic slowdown (because of the way in which GDP is measured), increased savings would bring two positive effects:

  • Restoring the currency purchasing power;
  • Pushing for a lowering of the interest rate and therefore creating an incentive to investments.

Furthermore, Indonesian youth should also advocate for the creation of an ASEAN integrated labour market, whereby people from different ASEAN countries could freely move and get jobs in the whole region. This would spur competition among workers and among employers, creating an incentive to increase productivity. Such an initiative would be good for workers (more job opportunities, incentive to improve themselves) and for employers (availability of more talents, etc.).

The creation of an integrated ASEAN labour market would push for an increase in productivity and productivity, in turn, is a key element to fight both inflation and economic downturns. For the same purpose, Government’s policy action should focus on four more points:

  • Development of strategic infrastructures, to support a business-friendly eco-system rather than development dreams in the desert;
  • Enhancement of incentive schemes for both domestic and international investments;
  • Improving the protection of physical property rights and further pushing on the road indicated by the Omnibus Law;
  • Promoting the protection of intellectual property rights as key element to incentivize innovation and to move away the country from the raw-material trap.

Mengenai CME: Center for Market Education (CME) adalah kelompok kajian khusus yang berkedudukan di Kuala Lumpur, Malaysia.

Sebagai sebuah institusi akademis dan pendidikan, CME memiliki cita-cita menyebarkan pendekatan yang majemuk sekaligus multidisipliner dalam ekonomi untuk menyebarkan pemahaman akan pentingnya peran pasar.

CME memiliki cabang di Indonesia dan Filipina. Selain inisiatif akademis, CME juga mengadakan seminar, webinar, dan kelas edukasi ekonomi yang menitikberatkan peran pasar. Audiens CME adalah mahasiswa, jurnalis, pebisnis, profesional, serta masyarakat umum yang ingin lebih memahami peran ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.

Ekonomi memainkan peran penting dalam keseharian kita, dan karenanya perlu disampaikan dengan cara yang menarik dan relevan. Terkait dengan hal ini, CME tidak hanya berfokus kepada teori, namun juga terhadap pengambilan kebijakan, dengan penekanan kepada konsekuensi turunan (unintended consequences) yang muncul sebagai dampak tak terhindarkan dari sebuah kebijakan politik.

Silahkan kunjungi https://marketedu.me/.  

Untuk pertanyaan lebih lanjut, Anda dapat menghubungi: pt.cmeid@gmail.com.